Kita telah melewati seperempat awal abad kelima belas hijriyah, tetapi tidak seorangpun kita lihat seorang ulama yang telah sampai derajatnya kepada al-Hafizh, ini membuktikan kekurangan umat islam pada zaman ini dalam mempelajari ilmu hadits dengan sedalam-dalamnya, tetapi yang anehkan dan mengejutkan ialah apabila kita lihat menjamurnya orang-orang yang mengaku menjadi Mujtahid atau mengambil hukum secara langsung dari al-Qur`an dan Hadits, sungguh mengherankan, apakah pernah kita lihat seorang mujtahid tidak sampai derajat al-hafiz?, tapi mungkin kita lihat mujtahid tersebut tetapi pada abad kelima belas hijriyah, coba kita lihat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`i, Imam Ahmad, derajat mereka didalam bidang hadits bukan hanya sampai kepada al-Hafizh, maka nyatalah bila seorang mengaku mujtahid tetapi tidak sampai derajatnya kepada al-Hafizh, maka orang tersebut tidak berkaca diri, atau cermin dirumahnya pecah sehingga tidak mampu untuk bercermin, para ulama tidak menutup pintu ijtihad terbukti usul fikih masih di pelajari diseluruh sekolah agama, tetapi siapakah yang mampu menaiki jenjang ijtihad dengan sebenarnya, boleh saya katakan pada zaman kita ini tidak ada yang sampai derajat Mujtahid, baik apa saja titelnya, doktetorkah, syeikhkah, ini jikalau kita mengakui secara jujur, tetapi kalau kita mengaku secara emesional dan sombong maka setiap orang akan mengaku beliaulah yang telah sampai derajat mujtahid.
Kembali kepokok permasalahan apakah makna al-Hafizh ? para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan al-Hafizh, itu semua tertumpu kepada banyaknya menuntut ilmu Hadits, hafalan dan sempurnanya pengetahuan dalam ilmu hadits secara dirayah dan riwayah.
Syeikh saya Syeikh Mahmud Said Mamduh menukilkan didalam kitabnya " Tazyinul alfazh" defenisi al-Hafizh menurut al-hafizh Tajuddin as-Subki : " Muhaddiits ialah seseorang yang mengetahui sanad-sanad dan `illat-`illat hadits, nama-nama periwayat hadits, mengetahui sanad yang tinggi dan rendah, dan menghapal matan hadits dengan jumlah yang banyak, mendengar kutubus sittah, Musnad Imam ahmad, Sunan Baihaqi, mu`jam-mu`jam Thabrani, kemudian seribu juzu` dari juzu` kitab hadits, ini paling rendah derajat Muhaddits.
Imam al-hafiz Saidinnas berkata: al-Muhaddits pada masa kita ialah seseorang yang sibuk dengan hadits secara dirayah dan riwayah dan mengumpulkan riwayat-riwayat hadits, melihat dan mengetahui periwayat dan riwayat-riwayat pada masanya, sehingga terkenal dan tulisannya di ketahui orang, tingkat kekuatan hafalanya yang mashur, jika dia memiliki pengetahuan diatas itu, sehingga dia mengetahui guru-gurunya, guru-guru dari gurunya, dan tiap-tiap generasi periwayat, lebih banyak mengetahuinya dari pada yang tidak diketahui, maka ini disebut al-Hafizh.
kesimpulan yang perlu kita ambil didalam derajat al-Hafiz adalah apayang telah di simpulkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-`Asqalani didalam kitabnya Nukat ala Ibni Shalah (1/268 ), al-Hafizh as-Sakhawi didalam al-Jawahi Wa ad-Duraru : ( m : 30 ):
1 - Masyhur dalam menuntu ilmu hadits dan mengambil riwayat dari mulut para ulama, bukan dari kitab-kitab hadits saja.
2 - Mengetahui dengan jelas Thabaqat generasi periwayat dan kedudukan mereka.
3 - mengetahui Jarah dan ta`dil dari setiap periwayat, dan mengenal mana hadit yang shahih atau yang Dhaif, sehingga apa yang dia ketahui lebih banyak dari pad yang tidak diketahuinya, juga menghapal banyak matan haditsnya.
inilah batasan-batasan yang mesti dilalui oleh seseorang jika ingin menjadi al-Hafizh, dengan makna lai n walaupun tahap hapalannya banyak tetapi tidak mempelajari hadits dari seorang guru maka tidak boleh dianggap al-Hafizh, dari keterangan diatas siapakah yang telah memiliki syarat seperti ini, jika kita jawab secara jujur maka tidak ada yang sampai derajat tersebut seorangpun pada seperempat awal abad lima belas hijriyah, dari abad pertama sampai abad ke sepuluh masih banyak terdapat al-hafizh, tetapi mulai abad kesebelas hijriyah sampai abad ke empat belas hijriyah derajat al-hafizh semangkin berkurangan, lihat bagaimana kita hidup diabad yang serba kekurangan, walaupun university-univrsity tumbuh seperti cendawan di musim hujan, tetapi mereka hanya sibuk mempelajari buku-buku diktat dan sibuk mengejar Syahadah agar dapat bekerja. ini menunjukkan kepada kita kehebatan ilmu para ulama pada masa mereka dahulu, sehingga al-Hafizh adz-Dzahabi menuturkan bahwa Muhaddits pada zaman sebelumnya jika berada pada masa imam adz-Dzahabi niscaya akan digelar al-Hafizh, diantara perkataan beliau didalam biografi Abdul Aziz al-Kattani : Kemungkinan beliau digelar al-Hafizh pada masanya, jikalau beliau berada pada masa kita niscaya akan digelar al-Hafizh, pada abad yang ke empat belas hijriyah hanya seorang saja yang telah di gelar al-Hafizh, yaitu al-Hafizh Ahmad Bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari wafat tahun 1380 hijriyah.
Tetapi yang sangat mengherankan adalah banyaknya orang yang tertipu daya dengan Syeikh Nashiruddin al-Bani pada zaman ini, sehingga seluruh apa yang di shahihkan dan Dhaifkan menjadi pegangan orang-orang bodoh dan awam, melebihi dari al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqaani dan ulama-ulama lainnya, padahal Al-Bani sendiri belum dapat digelar al-Muhaddits jika kita lihat dari syaratnya, beliau tidak memiliki seorang syeikh pun dalam belajar ilmu hadits, hanya sekedar melihat dari buku-buku hadits, apalagi sampai digelar al-hafizh, jauh langit dari bumi, sampai murid-muridnya yang terlalu fanatikpun tak mampu menggelar beliau al-Hafizh, mungkin mereka hanya gelar al-Bani Muhadts zaman Modren, benar beliau Muhaddits zamam modren tetapi bagi pendukung dan orang-orang Wahabi saja, adapun ulama Ahlu Sunnah Wal Jama`ah, mereka tidak mengakui beliau dan apa yang beliau shahihkan dan Dha`ifkan, karena al-Bani belum sampai lagi derajat Muhaddits. Wallahu a`lam.
Kembali kepokok permasalahan apakah makna al-Hafizh ? para ulama berbeda pendapat dalam mendefenisikan al-Hafizh, itu semua tertumpu kepada banyaknya menuntut ilmu Hadits, hafalan dan sempurnanya pengetahuan dalam ilmu hadits secara dirayah dan riwayah.
Syeikh saya Syeikh Mahmud Said Mamduh menukilkan didalam kitabnya " Tazyinul alfazh" defenisi al-Hafizh menurut al-hafizh Tajuddin as-Subki : " Muhaddiits ialah seseorang yang mengetahui sanad-sanad dan `illat-`illat hadits, nama-nama periwayat hadits, mengetahui sanad yang tinggi dan rendah, dan menghapal matan hadits dengan jumlah yang banyak, mendengar kutubus sittah, Musnad Imam ahmad, Sunan Baihaqi, mu`jam-mu`jam Thabrani, kemudian seribu juzu` dari juzu` kitab hadits, ini paling rendah derajat Muhaddits.
Imam al-hafiz Saidinnas berkata: al-Muhaddits pada masa kita ialah seseorang yang sibuk dengan hadits secara dirayah dan riwayah dan mengumpulkan riwayat-riwayat hadits, melihat dan mengetahui periwayat dan riwayat-riwayat pada masanya, sehingga terkenal dan tulisannya di ketahui orang, tingkat kekuatan hafalanya yang mashur, jika dia memiliki pengetahuan diatas itu, sehingga dia mengetahui guru-gurunya, guru-guru dari gurunya, dan tiap-tiap generasi periwayat, lebih banyak mengetahuinya dari pada yang tidak diketahui, maka ini disebut al-Hafizh.
kesimpulan yang perlu kita ambil didalam derajat al-Hafiz adalah apayang telah di simpulkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-`Asqalani didalam kitabnya Nukat ala Ibni Shalah (1/268 ), al-Hafizh as-Sakhawi didalam al-Jawahi Wa ad-Duraru : ( m : 30 ):
1 - Masyhur dalam menuntu ilmu hadits dan mengambil riwayat dari mulut para ulama, bukan dari kitab-kitab hadits saja.
2 - Mengetahui dengan jelas Thabaqat generasi periwayat dan kedudukan mereka.
3 - mengetahui Jarah dan ta`dil dari setiap periwayat, dan mengenal mana hadit yang shahih atau yang Dhaif, sehingga apa yang dia ketahui lebih banyak dari pad yang tidak diketahuinya, juga menghapal banyak matan haditsnya.
inilah batasan-batasan yang mesti dilalui oleh seseorang jika ingin menjadi al-Hafizh, dengan makna lai n walaupun tahap hapalannya banyak tetapi tidak mempelajari hadits dari seorang guru maka tidak boleh dianggap al-Hafizh, dari keterangan diatas siapakah yang telah memiliki syarat seperti ini, jika kita jawab secara jujur maka tidak ada yang sampai derajat tersebut seorangpun pada seperempat awal abad lima belas hijriyah, dari abad pertama sampai abad ke sepuluh masih banyak terdapat al-hafizh, tetapi mulai abad kesebelas hijriyah sampai abad ke empat belas hijriyah derajat al-hafizh semangkin berkurangan, lihat bagaimana kita hidup diabad yang serba kekurangan, walaupun university-univrsity tumbuh seperti cendawan di musim hujan, tetapi mereka hanya sibuk mempelajari buku-buku diktat dan sibuk mengejar Syahadah agar dapat bekerja. ini menunjukkan kepada kita kehebatan ilmu para ulama pada masa mereka dahulu, sehingga al-Hafizh adz-Dzahabi menuturkan bahwa Muhaddits pada zaman sebelumnya jika berada pada masa imam adz-Dzahabi niscaya akan digelar al-Hafizh, diantara perkataan beliau didalam biografi Abdul Aziz al-Kattani : Kemungkinan beliau digelar al-Hafizh pada masanya, jikalau beliau berada pada masa kita niscaya akan digelar al-Hafizh, pada abad yang ke empat belas hijriyah hanya seorang saja yang telah di gelar al-Hafizh, yaitu al-Hafizh Ahmad Bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari wafat tahun 1380 hijriyah.
Tetapi yang sangat mengherankan adalah banyaknya orang yang tertipu daya dengan Syeikh Nashiruddin al-Bani pada zaman ini, sehingga seluruh apa yang di shahihkan dan Dhaifkan menjadi pegangan orang-orang bodoh dan awam, melebihi dari al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqaani dan ulama-ulama lainnya, padahal Al-Bani sendiri belum dapat digelar al-Muhaddits jika kita lihat dari syaratnya, beliau tidak memiliki seorang syeikh pun dalam belajar ilmu hadits, hanya sekedar melihat dari buku-buku hadits, apalagi sampai digelar al-hafizh, jauh langit dari bumi, sampai murid-muridnya yang terlalu fanatikpun tak mampu menggelar beliau al-Hafizh, mungkin mereka hanya gelar al-Bani Muhadts zaman Modren, benar beliau Muhaddits zamam modren tetapi bagi pendukung dan orang-orang Wahabi saja, adapun ulama Ahlu Sunnah Wal Jama`ah, mereka tidak mengakui beliau dan apa yang beliau shahihkan dan Dha`ifkan, karena al-Bani belum sampai lagi derajat Muhaddits. Wallahu a`lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar