Sabtu, 30 Januari 2010

Nilai-nilai tasawuf di dalam film Ketika cinta bertasbih


Film ketika cinta bertasbih tidak hanya menggemparkan Indonesia, tetapi juga mampu menjadi sebuah tontonan yang paling diminati oleh negara-negara lainnya seperti warga negara Malaysia, tidak habis-habisnya saya mendengar ungkapan kagum dari kawan-kawan Malaysia, tetapi yang perlu dikagumi adalah nilai-nilai agama yang termuat didalam film ini, sebab tidak banyak film-film agama menyentuh masyarakat terlebih-lebih kaum muda, film-film Indonesia kebanyakkannya hanya berputar pada masalah cinta, perebutan harta, pengumbar hawa nafsu, tayangan sekwilda ( sekitar wilayah dada ), diharapkan film ini dapat mengajak insan perfilman agar berlomba-lomba membuat film keagamaan.

Seterusnya yang perlu dikagumi adalah nilai-nilai tasawuf yang ada didalam film ini, karena sebenarnya nilai-nilai tasawuf sudah banyak memudar dari pelajar-pelajar al-Azhar Mesir, bahkan ada yang menolak mentah-mentah adanya ilmu tasawuf didalam islam, walaupun sebenarnya Universitas al-Azhar yang tertua ini adalah tempat terbitnya tokoh-tokoh besar sufi dari abad-keabad, tidak dapat ditolak bahwa al-Azhar adalah sebuah lembaga yang berperan besar menyebarkan tasawuf didunia dari masa Solahuddin al-Ayyubi sampai masa Muhammad Sayyid Tantowy, Imam Syarqawy merupakan tokoh tasawuf ternama, Imam Bajuri Syeikh al-Azhar yang berpegang teguh dengan tasawuf, Syeikh Abdul Halim Mahmud syeikh al-Azhar yang memiliki corak kehidupan Sufi, Doktor Umar Hasyim seorang pakar hadits yang lahir dan hidup dibawah tenda tasawuf, Doktor Ahmad Toyyib rektor Universitas al-Azhar sekarang terlahir menjadi seorang muslim yang sangat cinta dengan tasawuf, sebab itulah di universitas al-Azhar , Fakultas Usuluddin dan Dakwah memiliki mata pelajaran Tasawuf.

Kembali kepada cerita semula, pilihan Habiburrahman kepada sebuah kitab yang dibaca oleh mas Azam adalah merupakan satu isyarat yang penting bahwa al-Azhar adalah Universitas Sufi yang mengajarkan tasawuf yang hakiki, al-Hikam ini adalah sebuah karya besar seorang ulama besar al-Azhar yang pernah menjadi imam di masjid al-Azhar asy-Syarif pada abad ketujuh Hijriyah, dari mulai saat itulah kitab al-Hikam dibaca oleh ulama - ulama al-Azhar di masjid al-Azhar sehingga sampai abad kelima belas sekarang ini telah dibaca dan dibahas oleh Mufti besar Mesir Syeikh Doktor Ali Jum`ah, pengajian tersebut terletak di naungan mihrab Fatimiyah dalam masjid al-Azhar.

Memandang betapa besarnya manfaat al-Hikam dikalangan umat islam yang sudah tergoda dengan hidup kedunian yang singkat dan fana ini sehingga banyak pula dari kalangan ulama yang membuat kitab syarahan al-Hikam Ibnu `Atho`ilah as-Sakandari, salah satu Syarah yang terbesar adalah hasil karang seorang ulama terkemuka abad ke lima belas ini Profesor Doktor Muhammad Sa`id Ramadham Buthi.

Diantara untaian Hikmah yang dibacakan oleh mas Azam adalah hakikat tawadhu` disisi Allah SWT, dalam arti kata seorang yang tawadhu` adalah jika telah merasa tidak memiliki perasaan muliya dan berharga dihadapan Allah dan semua orang, karena jika seseorang menganggap telah berhasil memiliki sifat tawadhu` maka orang tersebut telah merasakan mulya dan berharga disisi Allah, karena Tawadhu` itu satu kedudukan yang tinggi, dengan makna lain orang tersebut telah merasakan bahwa dirinya tinggi dihadapan Allah, inilah membuat siapa saja yang telah menetapkan dirinya telah bersifat tawadhu` ( rendah hati ) maka dia benar-benar seorang hamba Allah yang sombong, ini adalah permainan Syeitan yang sangat halus bagi hamba Allah yang mau menuju ke pintu Ridhanya, jika seseorang telah merasa dirinya yang paling alim, paling bersih, paling takwa, paling dekat dengan Allah, paling banyak beribadah maka hal ini sudah nyata-nyata sikap takabbur yang membahayakan, sebab itulah para sufi yang benar-benar mengikuti konsef tasawuf tidak merasa suci dihadapan orang yang membuat kesalahan dan maksiat, karena mungkin saja orang yang membuat maksiat tersebut lebih mulya dan tinggi darinya, adanya perasan lebih dibandingkan manusia yang lain adalah merupakan penyakit hati yang merusak ibadah dan amal, penyakit ini perlu diobat bukan dengan cara dioprasi dan memakan tablet obatyang dibeli dari toko obat, tetapi dengan belajar tasawuf dari seorang yang benar-benar telah menerapkan ilmu tasawuf kepada dirinya.

Bahagian yang seterusnya adalah mas Azam yang mencium tangan seorang kiyai pondok pesantren merupakan pengamalan tawadhu` yang telah hilang dari kebanyakkan pelajar-pelajar al-Azhar, bagaimana saya seorang graduan al-Azhar mau mencium tangan seorang ustaz atau kiyai yang tidak pernah belajar seperti saya, tidak pernah sampai ke Universitas yang tertua terbesar didunia, hal ini membuat enggan untuk mencium tangan para ulama yang lebih tua dari dirinya, atau sebahagian menganggap bahwa cium tangan ulama merupakan hal bid`ah yang tidak diajarkan oleh Rasulullah, pada gambaran yang pertama ini menunjukkan betapa sombongnya hati orang tersebut, sehingga merasa lebih besar dan alim dibandingkan dengan ulama atau kiyai yang tidak pernah belajar di universitas al-Azhar, karena Iblis juga seorang yang memiliki ilmu banyak, graduan surga yang memiliki banyak murid terdiri dari malaikat-malaikat, tetapi disebabkan kesombongan akhirnya mendapat laknat sampai hari akhirat, gambaran kedua adalah bukti kebodohannya yang tidak pernah membaca dan mengkhatam kitab-kitab hadits, padahal masalah mencium tangan ulama merupakan satu hal yang dituntut dan disunnahkan, dalil-dalilnya tersebar didalam kitab-kitab hadits, jadi mas Azam yang mencium tangan sang kiyai merupakan satu bukti ketawadhu`an yang perlu di tebarkan dan dikembangkan.

Tidak ada komentar: