Selasa, 14 April 2009

Ayat Mutasyaabihaat

Hukum ayat Mutasyaabihaat

Ulama berbeda pendapat dalam memandang permasalahan ini, sehingga sebahagian mereka mencoba untuk menyesatkan golongan yang tidak sefaham dengan mereka, seperti pengikut Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim aj-Jauziyyah yang suka menyesatkan kebanyakkan ulama yang tidak sehaluan dengan mereka.


Penulis mencoba membentangkan perbedaan yang ada di kalangan para ulama.

a - Pendapat pertama

Golongan ini berpendapat bahwa segala ayat-ayat sifat wajib diyakini dan wajib mentafwidhkan ( menyerahkan) maksud dan tujuannya kepada Allah SWT, tidak boleh mentafsirkannya dan mentakwilkannya, juga membersihkan Allah SWT dari hakikat lafaz ( tujuan kalimat sebenarnya ) tersebut. Pendapat ini disokong oleh kebanyakan golongan Ahli Sunnah baik salaf maupun khalaf, demikian juga disokong oleh kebanyakan ahli sufi dan sebahagian ulama Asy-Sya-`irah.

Berkata Imam Sayuti : Kebanyakan Ahli Sunnah terdiri dari ulama Salafus Shalihin dan ahli hadits berpendapat bahwa ayat–ayat sifat wajib diyakini dan menyerahkan makna yang dimaksud kepada Allah SWT, dan kami tidak akan menafsirkannya, dan kami mensucikan Allah SWT dari hakikat lafaz tersebut.

( Itqan fi Ulumi Al-Qur`an : 2/14 )

Dari ungkapan Imam sayuti sangat jelas sekali bahwa ulama salaf memahami tentang ayat mutasysabihaat, dengan cara wajib di imani tetapi maknanya diserahkan kepada Allah SWT, ini berbeda dengan pemahaman Ibnu Taimiyah yang menganggap bahwa makna ayat di ketahui secara hakikatnya, tetapi caranya ( kaifiyahnya ) tidak diketahui .

Lihat ungkapan Al-Hafiz Muhammad Murtadha Az-Zabidi di dalam syarahnya Itihaf sadatil Muttaqin : halaman 36, jilid : 2 :

" Allah SWT Istawa ala arasy sebagaimana yang Dia katakana, didalam al-Qur`an ( الرحمن على العرش استوى ) , artinya : Allah istawa ala Arasy , dengan makna yang Dia kehendaki, layak dan sesuai dengannya Yang Maha Suci yang lebih tahu dengan maknanya, sebagaimana yang telah diamalkan para ulama salaf pada masalah ayat Mutasyaabih, dengan cara mensucikan Allah dari apa saja yang tidak patut dan tak layak dengan kemuliaannya,dan menyerahkan makna lafazh kepada Allah SWT, bukan seperti orang yang mengatakan bahwa bolehnya Allah duduk di kursi `Arasy sebagaimana raja duduk di singgasananya.

( Itihaf Sadatul Muttaqin Bi Syarhi Ihya Ulumuddin : 2/36 )

Penjelasan ini serupa dengan ungkapan Imam An-Nawawi didalam syarah Shahih Muslim ketika menjelaskan hadits Jariyah ( budak perempuan ) yang ditanya Rasulullah SAW ; Dimanakan Allah . ( Shahih Muslim no :537 )

Iamam Nawawi berkomentar : Hadits ini termasuk hadits-hadits yang mencereritakan sifat, dalam permasalahan ini terdapat dua mazhab :

1 - Percaya dengan hadits tersebut tanpa mendalami maknanya, juga beri`tikad bahwa Allah SWT tidak seperti sesuatu, dan Maha suci dari ciri-ciri makhluk.

2 – Menta`wilkan hadits ini dengan apa yang patut kepada Allah, siapa yang berkata seperti ini , maka mereka berkata : Tujuan Rasul bertanya kepada Jariah untuk mencoba keimanannya, apakah dianya beriman dan mengakui yang menjadikan dan yang mengatur dan memperbuat sesuatu adalah Allah, DIalah Allah yang apabila memohon seorang , maka akan menghadap kelangit, sebagaimana apabila shalat seseorang maka akan menghadap ke Ka`bah, bukan maksudnya Allah itu berada di langit sebagaimana juga bukan maksudnya Allah itu berada di arah Ka`bah, bahkan yang yang dimaksud ialah langit adalah qiblat untuk orang berdo`a, dan Ka`bah qiblat orang yang shalat, ataukah dianya ( Jariyah ) termasuk penyembah berhala yang ada dihadapan mereka, maka manakala dia menjawab : dilangit, maka tahulah Rasul bahwa Jariyah itu telah beriman, dan bukan tergolong penyembah berhala.

(Syarah Shahih Muslim karangan Imam Nawawi : 3 / 30 , terbitan Dar al-Hadits, Cairo).


b – Pendapat kedua

Golongan ini berpendapat bahwa ayat-ayat sifat wajib diyakini dan wajib diyakini lafaz tersebut secara hakikatnya, dan menyerahkan kayfiyah ( caranya ) tersebut kepada Allah, tanpa ditakwilkan, ditafsirkan, dan dita`thilkan ( dihilangkan makna tujuannya ), akan tetapi wajib mengi`tikadkan bahwa Allah tidak seumpama makhluknya, pendapat ini disebarkan oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim aj-Jauziyah.

Perbedaan pendapat yang pertama dan pendapat kedua ialah pendapat yang pertama yaitu menyerahkan makna dan kaifiyah kepada Allah SWT, serta meyakini bahwa lafaz yang digunakan bukan bermakna secara hakikatnya, sementara pendapat kedua menyerahkan kayfiyahnya saja kepada Allah sedangkan makna yang terdapat di dalam lafaz tersebut diyakini secara hakikatnya, ulama Ahlus Aunnah Wal Jama`ah telah banyak menolak dan tidak menerima pendapat ini .

c – Pendapat yang ketiga

Ayat-ayat sifat yang bertentangan dengan kesucian Allah SWT dari persamaan dengan sifat makhluknya mesti ditakwilkan dengan kalimat yang lebih dekat penggunaannya oleh orang Arab dan lebih sesuai dengan kebesaran dan kesucian Allah, serta tidak menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluknya, golongan ini tidak mentakwilkan ayat-ayat sifat yang diungkapkan oleh Allah di akhrat, seperti melihat Allah di surga, pendapat ini lebih dikenal dengan pendapat ulama khalaf, tetapi ulama salaf juga ada yang mentakwilkan sebahagian ayat mutasyaabihaat.

Berkata Imam Ibnu Shalah : Pendapat ini telah dipegang oleh pemimpin-pemimpin umat Islam dari kalangan ulama, pendapat yang telah dipilih oleh para Fuqaha` dan pembesar-pembesarnya, dan ulama-ulama ahli hadits menyeru untuk beri`tikad seperti itu, tidak ada seorang pun dari kalangan ahli tauhid yang menolak pendapat ini .

( Itqan fi ulumil Qur`an : 2/15 )

Demikian juga kita lihat keterangan al-Hafiz Abi al-Abbas Ahmad Bin Umar Bin Ibrahim al-Qurthubi didalam syarah Muslim karangannya :

"Pertanyaan ini diarahkan Rasul kepada Jariyah atas dasar kemampuan pemahamannya, karena Rasul ingin menyatakan darinya bahwa dia bukan penyembah behala, dan batu yang terdapat di bumi, maka Jariyah menjawab dengan demikian ( di langit ), seolah-olah dia menjawab sesungguhnya Allah bukanlah jenis yang berada di bumi.

Kemudian beliau meneruskan perkataannya : " Tidak boleh diucapkan seperti itu kepada Allah secara hakikat, karena Allah suci dari tempat, sebagaimana juga Allah suci dari masa, bahkan dia yang menjadikan masa dan tempat, senantiasa Allah ada tidak diiringi oleh masa dan tempat, dan Dia ( Allah ) juga sekarang demikian".

Kemudian beliau menambahkan perkataanya : " Perlu kamu ketahui ! Sesungguhnya tidak ada perbedaan pendapat diantara umat islam, baik dari golongan ahli hadits, ahli fikih, ahli tauhid, orang yang bertaqlid ( mengikut pendapat ulama ) dan yang seumpama mereka, berpendapat bahwa sebutan yang terdapat didalam al-Qur`an dan hadits, yang mengungkapkan Allah di langit seperti ayat ( أأمنتم من في السماء ) bukan dimaksud secara zhohir ( hakikat), sesungguhnya ayat ini ditakwilkan oleh mereka.

Kemudian beliau menutup keterangannya dengan ungkapan : Siapa yang memahami ayat tersebut dengan secara zhahirnya ( hakikatnya ) maka dia adalah orang yang sesat dari kumpulan orang yang sesat.

( al-Mufham Lima Usykila min Talkhish Kitab Muslim , karangan al-Hafizh Abu Abbas Ahmad Bin Umar Bin Ibrahim al-Qurthubi, : 2 / 113-115 terbitan Maktabah Taufiqiyah, Mesir )

Hal yang sama telah di ucapkan oleh penafsir al-Qur`an ternama Imam Abu Abdullah Muhammad Bin Ahmad al-Anshori dalam tafsirnya :

Maksudnya ialah membesarkan dan mensucikannya dari tempat bawahdan kerendahan, dan mensifatkannya dengan sifat tinggi dan besar, bukan mensifatkannya dengan tempat, arah, dan batas-batas, karena itu sifat-sifat ajsam ( benda ), adapun sebab di angkatnya tanganketika berdoa ke langit, karena langit tempat penurunan wahyu, turunnya hujan, tempat yang suci, tempat makhluk-makhluk yang suci dari malaikat, diatasnya `Arasy dan surganya, sebagaimana Allah menjadikan Ka`bah sebagai qiblat do`a dan shalat, sebab Allah menjadikan tempat tetapi tidak memerlukan tempat, adanya Allah pada Azali sebelum menjadikan tempat dan masa, tidak beserta tempat dan masa, demikian juga setelah terciptanya tempat dan masa tidak bersama tempat dan masa.

( al-Jami` Lil Ahkam al-Qur`an, karangan Imam Abu Abdullah Muhammad Muhammad Bin Ahmad al-Anshori : 9 / 436 , Dar al-Hadits Cairo ) ,

d – Pendapat yang keempat

Golongan ini berpendapat seluruh ayat mutasyaabihaat wajib ditakwilkan sebab tidak sesuai dengan kesucian Allah SWT, setiap ayat yang mengandung sifat seperti sifat manusia mesti ditakwilkan, karena Allah tidak bersifat seperti makhluknya, sehingga mereka juga mesti mentakwilkan sifat-sifat Allah ketika diakhirat, mereka juga mengingkari bolehnya orang-orang yang beriman melihat Allah SWT di dalam surga, karena Allah tidak mampu dilihat, ini adalah pendapat Muktazilah.

Dari keempat pendapat yang kami sebutkan di atas, pendapat yang paling benar dan paling selamat adalah pendapat yang pertama, yaitu dengan menyerahkan maksud dan tujuan ayat kepada Allah SWT, dan mensucikan Allah dari hal-hal yang tidak layak kepadanya, serta meyakini bahwa lafaz tersebut bukan secara hakikatnya, pendapat yang pertama dan ketiga ini dikenal sebagai pendapat Ahlus Sunnah Wal Jama`ah.


Tidak ada komentar: